Jika kedai kopi adalah sebuah ‘ranah’ yang seharusnya meresap sebuah budaya tempat dia berada, maka Filosofi Kopi Jogja adalah salah satu kedai yang berhasil mewujudkannya. Filosofi Kopi yang sukses berat dengan buku dan filmnya mendongkrak kesuksesan kedai kopinya juga. Di Jakarta saja ada dua gerai Filosofi Kopi. Dan setelah film Filosofi Kopi 2 rilis maka lahir pulalah kedai Filosofi Kopi Jogja. Sama seperti yang ditampilkan di film, kedai yang satu ini bangunannya jauh dari tren kedai kopi sekarang yang kalau tidak minimalis, rustic, unfinished atau industrial. Dengan anggun Filosifi Kopi percaya diri menyerap budaya lokal dengan bangunan Rumah Joglo. Ada perasaan cemas sebelum mampir ke Filosofi Kopi Jogja. Kabarnya kedai ini selalu ramai dan harus mengantri. Eh ternyata pada saat saya hampir gelap mampir ke sini suasana justru sedang damai-damainya. Hanya ada beberapa meja yang terisi. Barista pun terlihat santai ngobrol dengan tamu yang duduk lesehan di depan coffee bar. Mungkin saya sedang beruntung, kedai popular ini memberi damai yang asyik sekali. Filosofi Kopi Jogja terdiri dari beberapa bagian. Ada bagian luar yaitu di taman dengan lampu-lampu dan kursi meja santai, ada bagian coffee bar yang di depannya tersedia lesehan, ada beberapa ruangan semi terbuka yang adem untuk duduk sambil ngopi santai. Semua ruangan tanpa mesin pendingin. Terbuka dengan pendingin alami yang sejuk nan asri. Sangkin asri dan damainya saya masih bisa mendengar suara jangkring sayup-sayup dari kejauhan. Persis seperti ngopi di desa. Saat ke sini saya memerhatikan segalanya yang sempat ditampilkan dalam film. Logo ‘cangkir filosofi’ yang ikonik itu terpampang pada dinding kayu. Seperti menyambut para pendatang dengan senyumnya yang khas. Yang tak kalah unik dari tempat ini adalah lesehan yang berada di depan bar. Bangunan yang hampir mirip rumah adat Jogja Bangsal Kencono ternyata bisa dijadikan kedai kopi yang berciri.
Meski menggunakan alat-alat kopi modern seperti mesin kopi Victoria Arduino dan automatic grinder Mahlkonig tempat ini tak kehilangan ciri ‘jogja-nya’. Saya memilih duduk di bagian utama kedai berdekatan dengan coffee bar. Untuk memesan kita harus datang ke bar dan saya tentu memesan secangkir tubruk dari Kopi Tiwus yang fenomenal itu. Dulu saya pernah dihadiahi Tiwus tapi saya seduh dengan pour over V60 dan rasanya biasa saja. Tapi kali ini ditubruk rasanya lain. Nikmat yang sederhana ini mungkin lahir dari sederhananya cara seduh plus suasana kedainya juga. Selain kopi tubruk daya juga memesan secangkir hot latte yang ditemani oleh one slice Lemon Tart yang sepertinya sudah jadi ikon tempat ini juga. Lemon tart ini memang sepertinya sudah dijodohkan dengan kopi selayaknya Brie dan Ben ya? Jika dinikmati tanpa kopi mungkin kadar enaknya berkurang. Ha-ha-ha. Makan sesuap lalu seruput kopi wuih tak terbilang lagi nikmatnya. Harus diketahui Filosofi Kopi Jogja tidak menyediakan makanan berat. Mereka hanya menyediakan aneka menu kopi baik espresso base maupun filter coffee dan camilan saja. Jadi jika ingin ke sini sebaiknya perut lapar dijinakkan dulu biar nyaman ngopi-ngopi serunya. Sambil menyeruput kopi yang hampir tandas, saya rasanya senang ada konsep kedai kopi terbuka dan berada di bangunan tradisional begini. Seketika berangan-angan jika ada rumah adat lain yang diberdayakan jadi kedai kopi. Ngopi di Filosofi Kopi Jogja rasanya jauh dari hingar-bingar kekotaan yang berisik. Suara yang paling-paling terdengar adalah suara alat kopi dan obrolan orang-orang sekitar. Oh iya, di sini juga tak ada WiFi. Jadi gunakanlah datamu sendiri atau dengan kata lain ngobrollah dengan orang di seberang meja saja. Hi-hi-hi.
Sumber : https://ottencoffee.co.id/majalah/filosofi-kopi-jogja-pengalaman-ngopi-di-joglo
0 komentar:
Posting Komentar