Meski menggunakan alat-alat kopi modern seperti mesin kopi Victoria Arduino dan automatic grinder Mahlkonig tempat ini tak kehilangan ciri ‘jogja-nya’. Saya memilih duduk di bagian utama kedai berdekatan dengan coffee bar. Untuk memesan kita harus datang ke bar dan saya tentu memesan secangkir tubruk dari Kopi Tiwus yang fenomenal itu. Dulu saya pernah dihadiahi Tiwus tapi saya seduh dengan pour over V60 dan rasanya biasa saja. Tapi kali ini ditubruk rasanya lain. Nikmat yang sederhana ini mungkin lahir dari sederhananya cara seduh plus suasana kedainya juga. Selain kopi tubruk daya juga memesan secangkir hot latte yang ditemani oleh one slice Lemon Tart yang sepertinya sudah jadi ikon tempat ini juga. Lemon tart ini memang sepertinya sudah dijodohkan dengan kopi selayaknya Brie dan Ben ya? Jika dinikmati tanpa kopi mungkin kadar enaknya berkurang. Ha-ha-ha. Makan sesuap lalu seruput kopi wuih tak terbilang lagi nikmatnya. Harus diketahui Filosofi Kopi Jogja tidak menyediakan makanan berat. Mereka hanya menyediakan aneka menu kopi baik espresso base maupun filter coffee dan camilan saja. Jadi jika ingin ke sini sebaiknya perut lapar dijinakkan dulu biar nyaman ngopi-ngopi serunya. Sambil menyeruput kopi yang hampir tandas, saya rasanya senang ada konsep kedai kopi terbuka dan berada di bangunan tradisional begini. Seketika berangan-angan jika ada rumah adat lain yang diberdayakan jadi kedai kopi. Ngopi di Filosofi Kopi Jogja rasanya jauh dari hingar-bingar kekotaan yang berisik. Suara yang paling-paling terdengar adalah suara alat kopi dan obrolan orang-orang sekitar. Oh iya, di sini juga tak ada WiFi. Jadi gunakanlah datamu sendiri atau dengan kata lain ngobrollah dengan orang di seberang meja saja. Hi-hi-hi.
Sumber : https://ottencoffee.co.id/majalah/filosofi-kopi-jogja-pengalaman-ngopi-di-joglo